“…kita temenan aja ya maaf!”
Krik krik kriik…
Sesaat setalah itu..
“ah siapa juga yang mau temenan sama kamu! Kelaut aja sana!”
Aku terbangun dari mimpi yang menyeramkan itu lagi. Bertemu dia dialam bawah sadarku disaat aku ingin istirahat dimalam yang lelap. Disaat aku ingin melupakan sejenak kesibukankan dan nggak teraturnya kehidupanku di siang hari. Kenapa harus kamu yang minta malamku?!
Pagi hari.
“Senin!” gara – gara mimpi itu aku jadi kesiangan.
Dengan kekuatan extraordinary aku bergegas ke kantor. Sebelum aku di kejar kerjaan yang sudah standby ditempatnya masing masing dan suara klakson dari bos yang meminta untuk segera terselalesaikan. Ya itu lah hariku. Itulah aku Karunia Ohriam Khariffa nickname Ri hobi menghancurkan harinya sendiri, sifat permanen is lola, paling benci diganggu saat tidur. Enough!
“…gimana ceritanya ini bisa terjadi? Kamu kerja apa Cuma main – main? Udah lama kerja masih aja kayak gini? Belajar dari kesalahan? Mana buktinya, salah terus!” ocehannya setiap hari lebih indah dari burung yang berkicau.
“lihat dulu dong pak! Dibaca! Kurang punya empat mata?” dan sekarang suaraku sama dengan nya.
“kamu jadi orang nggak tau diri ya!” nada bicaranya mulai terdengar kepenjuru kantor.
“saya sudah membuat salinan berikut yang diralat, saya letakan di meja bapak! Silahkan di periksa, mau saya bantu membacakannya sekalian?” entah gimana tata bahasaku sama si bos.
“nggak usah! Kamu boleh keluar!”
Seperti itu, sudah biasa
Berulang kali hari aku menghancurkan hari ku sendiri dan akhirnya aku sendiri yang menanggungnya. Entah itu dari kerjaan, dari bos, dan lingkungan sekitar. Hari ku belum ada yang sempurna!
Sampai dimana aku berada mendapat tugas dari bos yang membuat semuanya berbeda dari biasanya. Tidak ada kerjaan yang menunggu ditempatnya, tidak ada ocehan merdunya, tidak ada yang menggangguku ketika tidur. Different!
Semua itu karena…
“jadinya kamu aja yang berangkat, Ri!” ujar bos yang tiba tiba datang ke mejaku
“lhoh kok saya pak? Mas Kaka nggak jadi?” aku langsung mengerti maksudnya
“Iya, jadi. Berangkat bareng. Tapi Kaka ngerjain tugas di tempat lainya. Saya pengen semua nya perfect!” balasnya datar.
“fine! Ujung – ujungnya aku juga yang dikirim. Lu apa sih Ohriam, mana bisa ngeliput rapat penting itu. Tugas ini kelar aja udah cukup buat si tua kriting itu. Lagian beberapa hari jauh dari semua ini gak rugi kok. Itung – itung refresing tapi digaji. Siapa tau lu pulang si kriting itu bisa lurus rambutnya” gumamku.
Hari different itu tiba..
“lu gapapa kan Ri, sendiri?” tanya mas Kaka ragu kepadaku.
“gapapa kok mas udah biasa sendiri kali! Haha jomblo mulai bersuara!” jawabku
“hahaha.. apaan sih lu, ngode banget kayaknya! Pokoknya nanti dari sini…”
“stop – stop sebelum Ri berubah pikiran mending mas pergi aja deh. Ini kan terminal banyak kendaraan. Pasti ada kendaraan yang lewat desa itu. Bahkan tujuannya emang kedesa itu. Ri punya alamatnya, punya google map, punya mulut, Ri itu seorang reporter!” ucapku geram
“oke – oke, hati – hati mbak reporter. Semoga beruntung bawa cerita yang indah ya. Daa!!” godanya sambil berlalu dengan roda empatnya.
Sebenarnya mas Kaka bisa aja sih nganterin sampe ketemapt tujuan. Tapi karena aku yang minta aku turun di terminal dan naik bus aja. Untung ada bus yang menuju desa itu. Ini tugas ku, aku harus bisa sendiri. Nggak usah manja apalagi minta dianterin segala. Biasanya juga sendiri. Padahal dalam hati aku pengen menikmati liburan setengah tugas ini.
Dua jam perjalanan akhirnya sampai juga, alamatnya juga gak susah nyarinya. aku menginap dirumah kepala desa selama berada disini. Sambutan dari mereka warga dan juga kepala desa yang welcome adalah awal yang baik untuk hari ku yang memang berbeda ini.
Hari ini aku mulai menjalankan apa yang menjadi tujuan awalku. Untung aja aku bisa bangun pagi dan sempat menikmati udara segar dipagi hari di pedesaan.
“selamat pagi mbak Ohriam, mari sarapan dulu. Sehabis sarapan saya anter ke kebun untuk misinya. Tapi saya nggak bisa lama – lama ya, saya harus kekantor kelurahan” kata pak Kades menghampiriku yang baru saja keluar kamar yang baru saja mandi itu.
“oh pak Kades nggak perlu repot – repot. Saya bisa sendiri kok. Nanti kalo nggak tau jalannya saya tanya aja. Warga disini ramah – ramah.” Jawabku sok manis tulus.
“oh gitu ya, baiklah. Saya kebetulan juga ada rapat hari ini jadi saya harus mempersiapkan dulu. Oiya mbak bisa ditemani nak Vian. Dia ada di rumah sebelah, nggak bisa disini karena anak saya perempuan. Sudah seminggu, dia juga ada misi di sini” ujar pak kades yang sambil menyantap nasi goreng.
Deg! Semua seolah berhenti ketika mendengar nama itu. Dan aku hanya terdiam.
“Vian? Apa dia?!” pikirku dalam hati. Tempat ini terlalu jauh dari radar yang membuat dia tiba – tiba ada disini dan hampir basi untuk yang dibiarkan berlalu.
“mari saya antar bertemu mas Vian, hari ini dia juga mau ke kebun.” Kata pak kades membangunkan ku dari kekagetan.
“eh..em.. nggak usah pak. Em…” ujarku kebingungan
“kalo begitu saya berangkat dulu ya mbak, sudah jam segini.” Jawabnya terburu – buru
Aku berjalan mengikuti sang mentari, dengan penuh keyakinan aku bisa sampai di kebun. Aku suka disini. Udaranya sejuk.. masih asri.. panas sih, tapi rasanya tetap dingin. Entah dibawah atau diatas nol derajat suhunya..
Terlebih dari itu aku menjalankan tugas dengan santai, aku bisa membuat liputan yang menurutku menarik disini. Nggak salah desa ini sering dapat kunjungan untuk observasi lingkungan, penelitian, wawancara dengan para petani dan peternak. kesan pertama yang menyajikan pemandangan yang indah mungkin itu juga menjadi salah satu alasannya.
“tapi.. apakah benar dia?” aku masih memikirkan hal itu sedari tadi.
“lupakan Ri! Focus ke liputan! Untung aja di perjalanan dapat momen buat nambah durasi dan kesan yang apik. Jadi aku nggak ngalamun dong dari tadi tepi kenapa.. ah sudah sudah..” aku kembali memikirkannya sembari berjalan.
“permisi buk, arah ke kebun dimana ya?” aku memutuskan untuk bertanya saja.
“mau liputan ya dek? Kota kan? Kebetulan saya mau ke kebun mari bareng. Didepan juga kelompok lainnya.” Jawab ibu itu antusias.
Aku mengikuti mereka. Disepanjang perjalaan aku juga melakukan wawancara kecil buat nambah informasinya.
“nah disini kebun kenarinya, di sebelah barat sana ada kebun teh. Saya mau kerja dulu silahkan adek melanjutkan tugasnya.” Ibu itu memberi tahu.
Aku segera mencari seorang petani dengan pokok pembahasan yang sudah aku siapkan sebelumnya.
Wawancara berjalan lancar hari juga mulai terik. Sekali lagi tetap saja terasa dingin.
Aku memutuskan untuk istirahat sebentar di bawah pohon yang rindang, tugas yang lainya bisa dikerjakan di hari esok.
Angin sepoi – sepoi membuat mata ini terasa ngantuk dan perlahan mata ini tertutup. Tapi..
“Ohriam!” suara itu membangunkanku. Entah berapa lama aku tertidur disini. Perlahan aku membuka mata.
“kamu Ohriam! Hah.. syukurlah kamu benar Ohriam..” suara itu makin nyata adanya aku masih setengah sadar dan masih belum tau siapa yang bicara.
Setelah 3 detik..
“Astaghfirullah Vian!...” aku kaget nggak karuan, mata ini langsung terbuka lebar dan jelas melihat kalo dia benar Vian yang aku kenal. Sevian Akmaldi. Mulut istigfar tapi dalam hati watdef***!! Situasi macam apa ini Ya Tuhan!
Kami memutuskan untuk ngobrol. Duduk disebuah gubuk ditengah kebun kopi.. Sudah sejak hari itu kami nggak saling bicara dan bertemu. Aku tidak mengerti alasannya. Aku tidak berpikir aku bisa menahan kerinduanku untuk dia. Melihatmu lagi akan sama menyakitkannya dengan di tikam sampai mati. Tapi hari ini…
“ini buat kamu” sambil menyodorkan secangkir kopi
Tanpa bicara aku menerima kopi dari nya.
“udaranya dingin.. mau pake jaketku?” dia menawarkan jaketnya dan hampir memakaikannya ke aku.
“udah sih biasa aja! Aku juga pake baju panjang. Btw thanks kopinya…” aku mulai berbicara dan kali ini aku benar – benar sudah sadar dia memang ada didekatku lagi saat ini.
“o iya kamu tau nggak apa yang menarik dari secangkir kopi?” vian akhirnya membuka pembicaraan sesaat setelah beberapa menit kita saling terdiam. Mati gaya!
“tau, enak kan?” jawabku spontan.
“hahaha.. setuju! Tapi kurang tepat.” Dia tertawa lepas karena jawaban ku yang ngasal itu. Dia tertawa seperti dulu. Tawa nya yang sempat aku rindukan, dan hari ini dia tertawa lepas tanpa rasa dosa dimasa lalu.. aku hanya terdiam.
“cangkir kopi menjadi wadah yang didalamnya ada berbagai jenis zat. Isinya adalah benda cair yang bisa mengalir yang disebut kopi. Kopi terasa pahit dan manis. Dia juga punya asap hasil panasnya air ketika kopi diseduh. Ketika diminum ternyata hangat. Begitu juga kehidupan seorang manusia yang mengalir seperti benda cair. Terkadang pahit dan manis terasa. Ada asap dari sebuah api kehidupan. Namun demikian, ada kehangatan disaat kita bisa menikmatinya. Paparnya lembut dengan menatapku dalam sama seperti dulu.
“Cuma itu aja” aku menghancurkan suasana
“kopi juga menyimpan pesona untuk penikmatnya, cafein bikin kita ketagihan!” jawabnya ngasal. Dan mugkin dia kesal karena aku membuang tatapan nya itu.
“o begitu.” Jawabku datar. Padahal dalam hati ingin tertawa geli melihat wajah nya yang kecewa
“iya! Paham?” tanyanya geram.
“nggak!” jawabku yang semakin nggak nahan ingin tertawa dan akhirnya aku melepaskan tawaku juga. Lagi - lagi wajahnya yang hitam itu merasa kecewa. Cute banget, Vian!
“ah lu mah dari dulu emang lola. Awet banget dah kayaknya tu lola. Hahhaha…” kali ini dia yang tertawa lepas. Dan lagi- lagi akau terdiam.
“jangan bahas yang dulu – dulu ya,Vian!” kali ini aku menatapnya dalam, dan sialnya dia juga menatapku seperti itu lagi malah makin dalam dan berkata
“nikmati kopi selagi dia masih hangat, minumlah perlahan agar tidak cepat habis dan kamu bisa merasakan kenikmatannya. Jangan biarkan dia dingin, rasanya akan berbeda. Begitu juga cinta. Jagalah perlahan cinta itu ketika dia masih hangat, jangan biarkan dia dingin maka rasa itu perlahan akan hilang.” Bisiknya lembut sampai kehatiku..
“Good coffee should be black as the devil. Hot as hell. Pure as an angel. Sweet as Love.” Paparku untuk memperjelas suasana saat ini.
Hari – hari ku semakin berbeda karena ada dia lagi. Dia kembali lagi. Kita semakin dekat karena hari itu di kebun kopi. Bukan pokok pembahasan pada saat itu tapi rasa dan suasanya masih terasa sama seperti dulu. Dulu yang pahit dan manis seperti secangkir kopi. Kita yang dulu saling menyayangi. Dulu kita yang selalu bersama. Dulu kita yang punya impian suatu saat akan bersatu. Sebelum Dia datang dan membuat kita berpisah. Dan sekarang Vian kembali lagi. Its not beginning its not the end. Tanpa sengaja kita bertemu kembali. Mungkin ada kisah yang belum selesai.
Sudah beberapa hari kita ada disini. Kita selalu bersama menjalankan tugas masing – masing. Masih terasa nyaman. Masih ada terasa rasa yang dulu. Dia masih sama. Dia Sevian!
Dan hari ini hari tearakhir aku ada di desa ini. Semua tugas dari kantor udah selasai. Dan ternyata Vian juga udah selesai. Sebelum kita pulang, kita memutuskan untuk jalan – jalan sebentar untuk salam perpisahan kepada semuanya, warganya , tempat itu dan desa ini.
“Ri, buruan! Lama banget sih dandannya!” Teriaknya dari luar
“sabaar kenapa sih Yan, kebiasan deh. Lagian siapa juga yang dandan! Lagi ngecek koper nih , siapa tau ada yang ketinggalan” omel ku gemas.
“Yan – Yan! Apa lu? Lu kan lebih muda 3bulan dari gue. Panggil gue Mas Vian! Rempong amat bawa koper segala. kita kan Cuma mau jalan – jalan dulu nggak langsung pulang.” Omelnya semakin membara
“ah iya iya mas Vian. Gapapa sih, apa salahnya persiapan.” Jawabku
Sepanjang jalan pun kita masih berdebat masalah tadi. Seoalah nggak pernah ada habisnya kita saling berbicara. Rasa nyaman ini sudah melekat didalam jiwa. Aku akan menikmati secangkir kopi darinya.
Ditengah moment ini..
“Sevian!!!” teriakan seoarang perempuan yang berlari meghampiri kita. Kita terdiam dan menoleh ke arah suara itu.
“Khania?” vian kaget melihat perempuan itu. Dan aku hanya terdiam.
“Vian, aku kangen banget sama kamu. Aku tau kamu hari ini pulang makanya aku jemput kamu kesini. Aku nggak tahan kalo Cuma nunggu kamu temui aku. yuk ah pulang” kata perempuan itu yang langsung meluk Vian dan langsung mengandeng tangan Vian dengan mesra. Siapa sih lu! Aku terdiam.
“Khania, kenapa kamu ada disini. Kamu kan bisa nunggu aku dirumah aja, nggak perlu kesini. Disini dingin. Kamu nggak boleh sakit gara – gara jemput aku kesini. Ini pake jaket ku” vian terlihat khawatir sekali dengan cewek itu.
“ah Vian, sweet banget! oiya, ini siapa?” ujarnya manja dan mulai melihat kalo ada aku sedari tadi.
“kenalin, Ri ini Khania, Khania ini Ohriam..” kata Vian santai dan aku masih terdiam
“o kamu yang nama nya Ohriam, Vianku sering lho cerita soal lu ke gue..” ujarnya makin gemes. Dan seketika aku berlari meninggalkan mereka..
“lho heh mau kemana? Nggak sopan banget sih gue kan ngasih tangan buat jabat tangan sama lu bukan mau nampar lu karna udah ngrebut Vian dari gue.” Kata si manja itu.
“Ri dengerin dulu penjelasan gue, Khania ini…. Riiiii !!” teriak Vian yang hampir mengejarku tapi ditahan oleh Khania.
“Vian jangan kejar dia. Dari dulu kamu udah milih aku. dari dulu kamu ninggalin dia buat aku. dia juga bisa hidup tanpa kamu selama ini. buktinya dia nggak pernah nyari kamu. Dia udah lupain kamu. Dari dulu Cuma aku yang ada didekat mu. Aku mohon Vian. Lupain dia. Ini permintaan ku yang terakhir.” Kata Khania dengan tulus
Tanpa bicara, Vian langsung memeluk Khania dan mereka pulang tanpa memperdulikan ku.
Dan aku juga segera pulang dengan benda cair yang sama ketika dulu dihari itu yang disebut air mata. Mestinya dari awal aku udah tau rasa dari Kopi. Mestinya dari awal aku nggak nerima Kopi darinya lagi.
Terimakasih untuk secangkir kopi yang kamu beri untukku. Kopi tetap saja kopi! Tak akan bisa berubah menjadi air tebu. Meskipun kopi dicampur dengan air tebu, rasa pahit itu masih ada. Sifat dasar yang paling dominan. Kamu tetaplah kamu. Akhir kisah itu terulang kembali.
Vian, karena kamu kopi itu menjadi kenangan.
Pesan yang belum tersampaikan*
Ri, Khania sakit! Entah sampai kapan umurnya yang jelas disisa hidupnya aku ingin buat dia bahagia. Dari dulu aku memang memilih Khania karena dia sakit. Maka aku membiarkan kamu sendiri karena kamu kuat. Dari dulu aku memang bersama Khania dan selalu menemaninya di rumah sakit. Tapi percayalah dihati ini, sehari – harinya hanya bisa menunggu kamu kembali. Kamu memang bukan bersamaku, tapi namamu selalu ada di hariku. Dihatiku. Masih dengan perasaan yang sama dengan orang yang sama. Tunggulah aku datang menjemputmu ditempat itu. Aku segera kembali Ri – Sevian Akhmaldi
*By Ocktria #MyCupStory
NB :
Jika ada kemiripan nama tokoh, tempoat, ataupun urutan peristiwa itu hanyalah kebetulan saja, dan kami tidak ada maksud untuk menyinggungnya.
Jika ada kemiripan nama tokoh, tempoat, ataupun urutan peristiwa itu hanyalah kebetulan saja, dan kami tidak ada maksud untuk menyinggungnya.